![]()
Pemandangan Gunung Papandayan
|
|
Ketinggian | 2.665 m (8.743 ft) [1] |
---|---|
Lokasi | |
Koordinat | 7°19′LS 107°44′BT / 7,32°LS 107,73°BT |
Geologi | |
Jenis | Stratovolcano |
Letusan terakhir | November sampai Desember 2002 |
Pada Gunung Papandayan, terdapat beberapa kawah yang terkenal. Di antaranya Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk. Kawah-kawah tersebut mengeluarkan uap dari sisi dalamnya.
Topografi di dalam kawasan curam, berbukit dan bergunung serta terdapat tebing yang terjal. Menurut kalisifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk type iklim B, dengan curah hujan rata-rata 3.000 mm/thn, kelembaban udara 70 – 80 % dan temperatur 10 º C.
cisurupan - parkiran
mengingat kondisi jalan yang rusak berat dan menanjak. Butuh tenaga ekstra dari pengemudi dan tentu saja motornya buat nyampe parkiran. Jarak pertigaan Cisurupan-Parkiran 9 KM, cuman di awal doang jalannya bagus, dan palingan sekitar 1-2 km, sisanya rusak berat. Kalau mau pake motor, jangan motor matic atau motor tua kalau ga mau menderita di jalan. Sekitar 30 menit dan 35 menit waktu yang dibutuhkan buat mencapai parkiran papandayan. Tergantung skill dan tenaga kendaraannya. Setelah tiba diparkiran jangan lupa menuju pos pendaftaran.
jalan menuju parkiran
pos pendaftaran.
Parkiran – Pondok Saladah
Estimasi waktu dari Parkiran menuju Pondok Saladah sekitar 2 jam. Awal perjalanan akan disuguhi trek bebatuan dan asap putih yang keluar dari beberapa kawah belerang. Disarankan memakai masker karena bau belerang yang lumayan menyengat. Setelah trek bebatuan kapur, akan menuruni lembah lalu nanjak kembali sampai ke Pondok Saladah. Pondok Saladah tempatnya luas sehingga muat untuk menampung puluhan tenda. Di pondok Saladah juga tidak sulit air, karena ada pipa-pipa yang digunakan untuk mengalirkan air. Di sana juga ada tempat untuk buang air besar/kecil, tepatnya di pinggir sungai. Memang tempatnya tidak representatif, hanya ditutupi kain-kain karung beras, tapi lumayan daripada buang air di semak-semak.Jalur Bebatuan
Pondok Saladah – Tegal Alun
Dari Pondok Saladah Menuju Tegal Alun akan melewati Hutan Mati, bekas letusan papandayan tahun 2002. Di sana terdapat banyak pohon yang sudah mati dan tinggal menyisakan batangnya saja yang berwarna hitam. Namun pemandangan hutan mati sangat indah, memberikan sensasi yang berbeda. Setelah Hutan Mati akan melewati jalur menanjak yang disebut Tanjakan Mamang. Tanjakan bertangga dengan kemiringan sekitar 60 derajat. Selepas itu, tibalah di Tegal Alun, tempat yang luas dengan ditumbuhi bunga Edelweiss yang menghampar luas. Waktu yang dibutuhkan sekitar 40 menit.
pondok saladah

Gn. Cikuray dari Tanjakan Mamang
tegal alun
Tegal Alun – PuncakKebanyakan tujuan akhir para pendaki Papandayan bukan ke Puncaknya, melainkan Tegal Alun. Mereka mengahabiskan waktu di Tegal Alun untuk foto-foto dengan latar belakang indahnya hamparan Edelweiss. Untuk mencapai puncak Papandayan ikuti petunjuk dari plang yang ada disana. Ada dua plang yang yang menunjukan arah ke Puncak Papandayan, yaitu plang yang dekat dan yang jauh. Jika mengikuti arah dari plang yang dekat, akan melewati turunan dan melewati sungai kecil. Namun selepas itu akan melewati tanjakan yang curam, walaupun tidak terlalu panjang. Sedangkan plang yang jauh, akan melewati turunan dan mencapai mata air. Ambil jalur di sebelah kiri mata air tersebut untuk mencapai puncak. Untuk pemula sebaiknya mengambil jalur yang melewati mata air, walau jauh tapi jalurnya enteng. Selama perjalanan ke Puncak kita akan disuguhi rimbunnya pepohohan hutan, namun ada beberapa spot yang cocok untuk beristirahat atau foto-foto, karena pemandangannya indah. Dari spot tersebut bisa terlihat hamparan edelweiss Tegal Alun, gunung-gunung, ataupun kawah aktif yang masih menyemburkan asap. Sampai di Puncak, tidak bisa terlihat pemandangan apa-apa, karena tertutup rimbunnya pepohonan. Tempatnya pun tidak terlalu luas, paling hanya bisa menampung tidak lebih dari lima tenda. Waktu yang dibutuhkan dari Tegal Alun untuk mencapai Puncak sekitar satu jam.
Banyak orang memetik dan menjual bunga abadi
ini dijadikan suvenir. Agar bisa terus dinikmati banyak orang atau
keturunan kita selanjutnya, sebaiknya kita cukup menikmati saja
pemandangan keindahan tanaman ini tanpa harus memetiknya demi
melestarikan Edelweiss.
Selain tidak memetik bunga abadi,
sebaiknya kita menanamkan prinsip tidak membunuh apa pun, tidak
meninggalkan apa pun, dan tidak mengambil apa pun dari gunung ini
sehingga keindahan Gunung Papandayan menjadi terus lestari.
Pemandangan mempesona yang dihadirkan
gunung Papandayan, merupakan bekas - bekas yang masih ditinggalkan akibat
letusan yang sangat dahsyat ratusan tahun silam. Bayangkan sekitar 240
tahun lalu, gunung ini mengalami bencana hebat. Tepatnya pada 11 - 12
Agustus 1772 lampau, Gunung Papandayan meletus sangat dahsyat tanpa
peringatan, letusan tersebut menyebabkan empat puluh desa terkubur dan
3.000 - an penduduk beserta hewan - hewan ternaknya terisap ke dalam danau
vulkanik.
Papandayan bisa menjadi bukti bahwa dirinya tak hanya dapat memecut
adrenalin para penakluk tantangan atau sekadar memanjakan mata para
petualang. Tapi lebih dari itu, Papandayan akan memberikan efek
kontemplasi yang mendalam bagi para pencari makna yang menziarahinya.
Dahsyatnya amuk Gunung Papandayan
ratusan tahun silam tergambar dari catatan Lee Davis dalam buku yang
telah disebutkan di atas, Natural Disaster.
“No day of judgment painted by Angelo
or Dore could ever match that actual horror of the solid mountain
sinking into the earth with human beings on its slopes—its huge bulk
going down as a ship goes down into the deep.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar