Selasa, 25 November 2014

Misteriusnya Hutan Mati Di Gunung Papandayan

Gunung Papandayan di Garut, Jawa Barat hadirkan pemandangan eksotis dan langka. Pesona alam akibat erupsi dahsyat puluhan dan ratusan tahun silam mengobati pendakian melelahkan. Melalui jalan terjal, kawah, hutan mati, dan Padang Edelweiss mengasyikkan.
Langit membara di Barat Daya Garut, Jawa Barat pada malam hari bulan Agustus 1772. Lava panas terus dimuntahkan dari kawah gunung Papandayan selama lima menit. Gemeretak tanah, gelegar hebat, dan runtuhnya sebagian besar badan gunung menjadi sebuah kejadian mengerikan. Dalam Natural Disaster karya Lee Davis sampai hati mengatakan bahwa gunung Papandayan hancur hingga berkeping-keping.
Demikian gambaran peristiwa alam yang terjadi ratusan tahun lalu di kota berjulukan Switzerland from Java. Sekarang, bila kita menjejakkan kaki di Kota Garut, Jawa Barat, akan serasa tak lengkap jika belum mencicipi asyiknya mendaki Gunung Papandayan.
Gunung Papandayan terletak di Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, Jawa Barat atau sekitar 70 km sebelah tenggara Kota Bandung dengan ketinggian 2.665 mdpl. Gunung ini memiliki beberapa kawah terkenal seperti Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk aktif mengeluarkan uap dari sisi dalamnya.
Gunung aktif Papandayan menawarkan paradigma “gunung wisata” yang cukup ramah bagi pendaki pemula. Papandayan menyimpan beragam pemandangan alam yang mempesona.
Menurut kalisifikasi Schmidt dan Ferguson Papandayan termasuk type iklim B, dengan curah hujan rata-rata 3.000 mm/thn, kelembaban udara 70 – 80 persen dan bertemperatur 10 derajat Celcius. Sementara secara topografi, gunung ini memiliki kawasan curam, berbukit dan bergunung serta tebing terjal.
Bagi Anda yang ingin mendaki Gunung Papandayan, sebaiknya persiapkan diri kita baik fisik maupun  mental serta perlengkapan. Mendaki Papandayan, sama seperti kebanyakan mendaki gunung lainnya, artinya kita harus siap dengan kabut yang bisa turun kapan saja dengan suhu yang ekstrem — sangat dingin— pada malam hari. Oleh karena itu persiapkanlah barang-barang bawaan dengan lengkap dan harus selalu waspada, apalagi saat kabut mulai turun.
Untuk mendaki gunung Papandayan kita dapat melalui dua jalur, yakni jalur Cisurupan Garut dan Pengalengan Bandung. Di kedua jalur tersebut Anda disamput Pos Penjagaan untuk mendaftarkan diri dan membayar sumbangan untuk keperluan konservasi Gunung Papandayan.
Dalam memulai memulai pendakian Gunung Papandayan, Anda tidak perlu takut. Memang saat memulai Papandayan akan menyambut dengan jalur yang cukup terjal, gersang, dan penuh bebatuan putih. Dan tak lama kemudian, Anda akan melewati hamparan kawah-kawah belerang yang mengeluarkan kepulan asap dengan bau belerang yang menyengat.
Agar tidak tercium terlalu menyengat, pengunjung atau para pendaki sebaikan memakai penutup hidung atau masker. Perlu diingat, para pendaki atau pengunjung dihimbau untuk tidak singgah atau istirahat di kawasan kawah ini terlalu lama, karena dapat menimbulkan efek yang tidak baik bagi tubuh.
Setelah meninggalkan kawah-kawah belerang, Papandayan menghadirkan panorama yang tak lagi gersang. Sambutan pepohonan yang hijau kemerahan akan menjadi pemandangan yang lazim seluas mata memandang. Para pengunjung dapat lebih menikmati perjalanan pendakian tak lagi seterjal di kawasan perkawahan.
Selama dua atau tiga jam perjalanan, Anda  akan sampai di kawasan Pondok Saladah. Kawasan ini menjadi tempat persinggahan pendaki untuk melepas lelah atau beristirahat di malam hari. Tenda-tenda kemah didirikan untuk bermalam. Kawasan Pondok Saladah ini memiliki sumber air yang melimpah sehingga Anda bisa mandi, memasak dan memenuhi persediaan air di perjalanan selanjutnya.
Perjalanan memang belum berakhir dengan hanya mendirikan tenda dan berleha-leha di Pondok Saladah. Pemandangan yang mempesona masih cukup banyak akan disajikan oleh Papandayan. Salah satu destinasi wajib jika mengunjungi Gunung Papandayan adalah Tegal Alun, sebuah padang Edelweiss yang sangat luas.
Menariknya, sebelum Anda mencapai atau tiba di Tegal Alun, sebuah pemandangan eksotis akan Anda saksikan terlebih dahulu yakni areal hutan mati. Pemandangan pohon-pohon kering menghitam dengan tanah putih yang sarat kandungan belerang mencoba tunjukkan daya pukaunya tersendiri. Mungkin sebagian orang tak menduga, pemandangan eksotis ini lahir dari sebuah bencana, yakni erupsi gunung Papandayang pada tahun 2002 silam. Erupsi yang terjadi pada tahun 2002 menghasilkan hutan mati yang menjadikan Papadayan terlihat sangat eksotis.
Pendakian selama sekitar 1,5 jam kemudian berakhir di padang Edelweiss bernama Tegal Alun. Senyuman lebar dan tak lupa mengucap rasa syukur atas apa yang kami lihat yaitu hamparan edelweis.
Tegal Alun menjadi tujuan akhir. Melewati trak yang bisa dibilang terjal, tetapi kita tetap bersemangat menapaki langkah demi langkah untuk mencapainya. Selama perjalanan pendakian tak henti-hentinya ucapan rasa kagum kepada Tuhan atas ciptaan yang luar biasa ini.
Padang luas yang dipenuhi Anaphalisjavanica, nama latin Edelweiss terbentang luas hingga sekitar 35 hektar. Edelweiss yang juga dikenal dengan sebutan bunga abadi kini termasuk tanaman langka. Banyak orang memetik dan menjual  bunga abadi ini dijadikan suvenir. Agar bisa terus dinikmati banyak orang atau keturunan kita selanjutnya, sebaiknya kita cukup menikmati saja pemandangan keindahan tanaman ini tanpa harus memetiknya demi melestarikan Edelweiss.
Selain tidak memetik bunga abadi, sebaiknya kita menanamkan prinsip tidak membunuh apa pun, tidak meninggalkan apa pun, dan tidak mengambil apa pun dari gunung ini sehingga keindahan Gunung Papandayan menjadi terus lestari.
Pemandangan mempesona yang dihadirkan gunung Papandayan, merupakan bekas-bekas yang masih ditinggalkan akibat letusan yang sangat dahsyat ratusan tahun silam. Bayangkan sekitar 240 tahun lalu, gunung ini mengalami bencana hebat. Tepatnya pada 11-12 Agustus 1772 lampau, Gunung Papandayan meletus sangat dahsyat tanpa peringatan, letusan tersebut menyebabkan empat puluh desa terkubur dan 3.000-an penduduk beserta hewan-hewan ternaknya terisap ke dalam danau vulkanik.
Dahsyatnya amuk Gunung Papandayan ratusan tahun silam tergambar dari catatan Lee Davis dalam buku yang telah disebutkan di atas, Natural Disaster.
“No day of judgment painted by Angelo or Dore could ever match that actual horror of the solid mountain sinking into the earth with human beings on its slopes—its huge bulk going down as a ship goes down into the deep.”
Papandayan bisa menjadi bukti bahwa dirinya tak hanya dapat memecut adrenalin para penakluk tantangan atau sekadar memanjakan mata para petualang. Tapi lebih dari itu, Papandayan akan memberikan efek kontemplasi yang mendalam bagi para pencari makna yang menziarahinya.