Gunung Papandayan di Garut, Jawa Barat
hadirkan pemandangan eksotis dan langka. Pesona alam akibat erupsi
dahsyat puluhan dan ratusan tahun silam mengobati pendakian melelahkan.
Melalui jalan terjal, kawah, hutan mati, dan Padang Edelweiss mengasyikkan.
Langit membara di Barat Daya Garut,
Jawa Barat pada malam hari bulan Agustus 1772. Lava panas terus
dimuntahkan dari kawah gunung Papandayan selama lima menit. Gemeretak
tanah, gelegar hebat, dan runtuhnya sebagian besar badan gunung menjadi
sebuah kejadian mengerikan. Dalam Natural Disaster karya Lee Davis
sampai hati mengatakan bahwa gunung Papandayan hancur hingga
berkeping-keping.
Demikian gambaran peristiwa alam yang
terjadi ratusan tahun lalu di kota berjulukan Switzerland from Java.
Sekarang, bila kita menjejakkan kaki di Kota Garut, Jawa Barat, akan
serasa tak lengkap jika belum mencicipi asyiknya mendaki Gunung
Papandayan.
Gunung Papandayan
terletak di Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, Jawa Barat atau
sekitar 70 km sebelah tenggara Kota Bandung dengan ketinggian 2.665
mdpl. Gunung ini memiliki beberapa kawah terkenal seperti Kawah Mas,
Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk aktif mengeluarkan uap dari
sisi dalamnya.
Gunung aktif
Papandayan menawarkan paradigma “gunung wisata” yang cukup ramah bagi
pendaki pemula. Papandayan menyimpan beragam pemandangan alam yang
mempesona.
Menurut kalisifikasi Schmidt dan
Ferguson Papandayan termasuk type iklim B, dengan curah hujan rata-rata
3.000 mm/thn, kelembaban udara 70 – 80 persen dan bertemperatur 10
derajat Celcius. Sementara secara topografi, gunung ini memiliki kawasan
curam, berbukit dan bergunung serta tebing terjal.
Bagi Anda yang ingin mendaki Gunung
Papandayan, sebaiknya persiapkan diri kita baik fisik maupun mental
serta perlengkapan. Mendaki Papandayan, sama seperti kebanyakan mendaki
gunung lainnya, artinya kita harus siap dengan kabut yang bisa turun
kapan saja dengan suhu yang ekstrem — sangat dingin— pada malam hari.
Oleh karena itu persiapkanlah barang-barang bawaan dengan lengkap dan
harus selalu waspada, apalagi saat kabut mulai turun.
Untuk
mendaki gunung Papandayan kita dapat melalui dua jalur, yakni jalur
Cisurupan Garut dan Pengalengan Bandung. Di kedua jalur tersebut Anda
disamput Pos Penjagaan untuk mendaftarkan diri dan membayar sumbangan
untuk keperluan konservasi Gunung Papandayan.
Dalam memulai memulai pendakian Gunung
Papandayan, Anda tidak perlu takut. Memang saat memulai Papandayan akan
menyambut dengan jalur yang cukup terjal, gersang, dan penuh bebatuan
putih. Dan tak lama kemudian, Anda akan melewati hamparan kawah-kawah
belerang yang mengeluarkan kepulan asap dengan bau belerang yang
menyengat.
Agar tidak tercium terlalu menyengat,
pengunjung atau para pendaki sebaikan memakai penutup hidung atau
masker. Perlu diingat, para pendaki atau pengunjung dihimbau untuk tidak
singgah atau istirahat di kawasan kawah ini terlalu lama, karena dapat
menimbulkan efek yang tidak baik bagi tubuh.
Setelah meninggalkan kawah-kawah
belerang, Papandayan menghadirkan panorama yang tak lagi gersang.
Sambutan pepohonan yang hijau kemerahan akan menjadi pemandangan yang
lazim seluas mata memandang. Para pengunjung dapat lebih menikmati
perjalanan pendakian tak lagi seterjal di kawasan perkawahan.
Selama dua atau tiga jam perjalanan,
Anda akan sampai di kawasan Pondok Saladah. Kawasan ini menjadi tempat
persinggahan pendaki untuk melepas lelah atau beristirahat di malam
hari. Tenda-tenda kemah didirikan untuk bermalam. Kawasan
Pondok Saladah ini memiliki sumber air yang melimpah sehingga Anda bisa
mandi, memasak dan memenuhi persediaan air di perjalanan selanjutnya.
Perjalanan memang belum berakhir
dengan hanya mendirikan tenda dan berleha-leha di Pondok Saladah.
Pemandangan yang mempesona masih cukup banyak akan disajikan oleh
Papandayan. Salah satu destinasi wajib jika mengunjungi Gunung
Papandayan adalah Tegal Alun, sebuah padang Edelweiss yang sangat luas.
Menariknya, sebelum Anda mencapai atau
tiba di Tegal Alun, sebuah pemandangan eksotis akan Anda saksikan
terlebih dahulu yakni areal hutan mati. Pemandangan pohon-pohon kering
menghitam dengan tanah putih yang sarat kandungan belerang mencoba
tunjukkan daya pukaunya tersendiri. Mungkin sebagian orang tak menduga,
pemandangan eksotis ini lahir dari sebuah bencana, yakni erupsi gunung
Papandayang pada tahun 2002 silam. Erupsi yang terjadi pada tahun 2002
menghasilkan hutan mati yang menjadikan Papadayan terlihat sangat
eksotis.
Pendakian selama sekitar 1,5 jam
kemudian berakhir di padang Edelweiss bernama Tegal Alun. Senyuman lebar
dan tak lupa mengucap rasa syukur atas apa yang kami lihat yaitu
hamparan edelweis.
Tegal Alun menjadi tujuan akhir.
Melewati trak yang bisa dibilang terjal, tetapi kita tetap bersemangat
menapaki langkah demi langkah untuk mencapainya. Selama perjalanan
pendakian tak henti-hentinya ucapan rasa kagum kepada Tuhan atas ciptaan
yang luar biasa ini.
Padang luas yang dipenuhi
Anaphalisjavanica, nama latin Edelweiss terbentang luas hingga sekitar
35 hektar. Edelweiss yang juga dikenal dengan sebutan bunga abadi kini
termasuk tanaman langka. Banyak orang memetik dan menjual bunga abadi
ini dijadikan suvenir. Agar bisa terus dinikmati banyak orang atau
keturunan kita selanjutnya, sebaiknya kita cukup menikmati saja
pemandangan keindahan tanaman ini tanpa harus memetiknya demi
melestarikan Edelweiss.
Selain tidak memetik bunga abadi,
sebaiknya kita menanamkan prinsip tidak membunuh apa pun, tidak
meninggalkan apa pun, dan tidak mengambil apa pun dari gunung ini
sehingga keindahan Gunung Papandayan menjadi terus lestari.
Pemandangan mempesona yang dihadirkan
gunung Papandayan, merupakan bekas-bekas yang masih ditinggalkan akibat
letusan yang sangat dahsyat ratusan tahun silam. Bayangkan sekitar 240
tahun lalu, gunung ini mengalami bencana hebat. Tepatnya pada 11-12
Agustus 1772 lampau, Gunung Papandayan meletus sangat dahsyat tanpa
peringatan, letusan tersebut menyebabkan empat puluh desa terkubur dan
3.000-an penduduk beserta hewan-hewan ternaknya terisap ke dalam danau
vulkanik.
Dahsyatnya amuk Gunung Papandayan
ratusan tahun silam tergambar dari catatan Lee Davis dalam buku yang
telah disebutkan di atas, Natural Disaster.
“No day of judgment painted by Angelo
or Dore could ever match that actual horror of the solid mountain
sinking into the earth with human beings on its slopes—its huge bulk
going down as a ship goes down into the deep.”
Papandayan bisa menjadi bukti bahwa
dirinya tak hanya dapat memecut adrenalin para penakluk tantangan atau
sekadar memanjakan mata para petualang. Tapi lebih dari itu, Papandayan
akan memberikan efek kontemplasi yang mendalam bagi para pencari makna
yang menziarahinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar