Litografi oleh F. C. Wilsen yang menggambarkan kawah Papandayan (tahun 1865-1876)
Gunung Papandayan adalah
gunung api yang terletak di
Kabupaten Garut,
Jawa Barat tepatnya di Kecamatan
Cisurupan. Gunung dengan ketinggian 2665 meter di atas permukaan laut itu terletak sekitar 70 km sebelah tenggara Kota
Bandung.
Pada Gunung Papandayan, terdapat beberapa kawah yang terkenal. Di
antaranya Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk.
Kawah-kawah tersebut mengeluarkan uap dari sisi dalamnya.
Topografi di dalam kawasan curam, berbukit dan bergunung serta
terdapat tebing yang terjal. Menurut kalisifikasi Schmidt dan Ferguson
termasuk type iklim B, dengan curah hujan rata-rata 3.000 mm/thn,
kelembaban udara 70 – 80 % dan temperatur 10 º C.
cisurupan - parkiran
mengingat kondisi jalan yang rusak berat dan menanjak. Butuh
tenaga ekstra dari pengemudi dan tentu saja motornya buat nyampe
parkiran. Jarak pertigaan Cisurupan-Parkiran 9 KM, cuman di awal doang
jalannya bagus, dan palingan sekitar 1-2 km, sisanya rusak berat. Kalau
mau pake motor, jangan motor matic atau motor tua
kalau ga mau menderita di jalan. Sekitar 30 menit dan 35 menit waktu
yang dibutuhkan buat mencapai parkiran
papandayan. Tergantung skill dan tenaga kendaraannya. Setelah tiba
diparkiran jangan lupa menuju pos pendaftaran.
jalan menuju parkiran
pos pendaftaran.
Parkiran – Pondok Saladah
Estimasi waktu dari Parkiran menuju Pondok Saladah sekitar 2 jam. Awal
perjalanan akan disuguhi trek bebatuan dan asap putih yang keluar dari
beberapa kawah belerang. Disarankan memakai masker karena bau belerang
yang lumayan menyengat. Setelah trek bebatuan kapur, akan menuruni
lembah lalu nanjak kembali sampai ke Pondok Saladah. Pondok Saladah
tempatnya luas sehingga muat untuk menampung puluhan tenda. Di pondok
Saladah juga tidak sulit air, karena ada pipa-pipa yang digunakan untuk
mengalirkan air. Di sana juga ada tempat untuk buang air besar/kecil,
tepatnya di pinggir sungai. Memang tempatnya tidak representatif, hanya
ditutupi kain-kain karung beras, tapi lumayan daripada buang air di
semak-semak.
Jalur Bebatuan
Pondok Saladah – Tegal Alun
Dari Pondok Saladah Menuju Tegal Alun akan melewati Hutan Mati, bekas
letusan papandayan tahun 2002. Di sana terdapat banyak pohon yang sudah
mati dan tinggal menyisakan batangnya saja yang berwarna hitam. Namun
pemandangan hutan mati sangat indah, memberikan sensasi yang berbeda.
Setelah Hutan Mati akan melewati jalur menanjak yang disebut Tanjakan
Mamang. Tanjakan bertangga dengan kemiringan sekitar 60 derajat. Selepas
itu, tibalah di Tegal Alun, tempat yang luas dengan ditumbuhi bunga
Edelweiss yang menghampar luas. Waktu yang dibutuhkan sekitar 40 menit.
pondok saladah
Gn. Cikuray dari Tanjakan Mamang
tegal alun
Tegal Alun – Puncak
Kebanyakan tujuan akhir para pendaki Papandayan bukan ke Puncaknya,
melainkan Tegal Alun. Mereka mengahabiskan waktu di Tegal Alun untuk
foto-foto dengan latar belakang indahnya hamparan Edelweiss. Untuk
mencapai puncak Papandayan ikuti petunjuk dari plang yang ada disana.
Ada dua plang yang yang menunjukan arah ke Puncak Papandayan, yaitu
plang yang dekat dan yang jauh. Jika mengikuti arah dari plang yang
dekat, akan melewati turunan dan melewati sungai kecil. Namun selepas
itu akan melewati tanjakan yang curam, walaupun tidak terlalu panjang.
Sedangkan plang yang jauh, akan melewati turunan dan mencapai mata air.
Ambil jalur di sebelah kiri mata air tersebut untuk mencapai puncak.
Untuk pemula sebaiknya mengambil jalur yang melewati mata air, walau
jauh tapi jalurnya enteng. Selama perjalanan ke Puncak kita akan
disuguhi rimbunnya pepohohan hutan, namun ada beberapa spot yang cocok
untuk beristirahat atau foto-foto, karena pemandangannya indah. Dari
spot tersebut bisa terlihat hamparan edelweiss Tegal Alun,
gunung-gunung, ataupun kawah aktif yang masih menyemburkan asap. Sampai
di Puncak, tidak bisa terlihat pemandangan apa-apa, karena tertutup
rimbunnya pepohonan. Tempatnya pun tidak terlalu luas, paling hanya bisa
menampung tidak lebih dari lima tenda. Waktu yang dibutuhkan dari Tegal
Alun untuk mencapai Puncak sekitar satu jam.
Plang Petunjuk dekat Mata Air
Pemandangan Kawah
Banyak orang memetik dan menjual bunga abadi
ini dijadikan suvenir. Agar bisa terus dinikmati banyak orang atau
keturunan kita selanjutnya, sebaiknya kita cukup menikmati saja
pemandangan keindahan tanaman ini tanpa harus memetiknya demi
melestarikan Edelweiss.
Selain tidak memetik bunga abadi,
sebaiknya kita menanamkan prinsip tidak membunuh apa pun, tidak
meninggalkan apa pun, dan tidak mengambil apa pun dari gunung ini
sehingga keindahan Gunung Papandayan menjadi terus lestari.
Pemandangan mempesona yang dihadirkan
gunung Papandayan, merupakan bekas - bekas yang masih ditinggalkan akibat
letusan yang sangat dahsyat ratusan tahun silam. Bayangkan sekitar 240
tahun lalu, gunung ini mengalami
bencana hebat. Tepatnya pada 11 - 12
Agustus 1772 lampau, Gunung Papandayan meletus sangat dahsyat tanpa
peringatan, letusan tersebut menyebabkan empat puluh desa terkubur dan
3.000 - an penduduk beserta hewan - hewan ternaknya terisap ke dalam
danau
vulkanik.
Dahsyatnya amuk Gunung Papandayan
ratusan tahun silam tergambar dari catatan Lee Davis dalam buku yang
telah disebutkan di atas, Natural Disaster.
“No day of judgment painted by Angelo
or Dore could ever match that actual horror of the solid mountain
sinking into the earth with human beings on its slopes—its huge bulk
going down as a ship goes down into the deep.”
Papandayan bisa menjadi bukti bahwa dirinya tak hanya dapat memecut
adrenalin para penakluk tantangan atau sekadar memanjakan mata
para
petualang. Tapi lebih dari itu, Papandayan akan memberikan
efek
kontemplasi yang mendalam bagi para pencari makna yang menziarahinya.
salam rimba dan lestari.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar